BAB 1 I'JAZ AL-QURAN
Menurut bahasa kata "mu’jizah" berasal dari kata "'ajz"
(lemah), kebalikan dari kata "qudrah" (kuasa). Pada dasarnya
Mu’jiz itu adalah Allah SWT., yang menyebabkan selain-Nya lemah. Pemberi
kekuasaan kepada selain-Nya juga adalah Zat Allah SWT., karena Ia sebagai
Penguasa mereka. Sebagai bentuk mubalaghah (penegasan) kebenaran berita,
mengenai betapa lemahnya orang-orang yang didatangi Rasul untuk menentang mu’jiz tersebut, maka
huruf "ta" marbuthah ditambahkan kepada kata "mu’'jiz"
sehingga menjadi
"mu’jizah ". Bentuk mubalaghah ini juga terjadi, misalnya pada
kata, "'allamah", "nassabah", dan "rawiyah".
Menurut para Mutakallimln (teolog), mukjizat ialah munculnya
sesuatu hal yang berbeda dengan adat kebiasaan yang terjadi di dunia (dar
al-taklif) untuk menunjukkan kebenaran kenabian (nubuwwah) para
Nabi.
Al-Thusi mendefinisikan mukjizat dengan terjadinya sesuatu yang tidak
biasa terjadi, atau terjadinya sesuatu yang menggugurkan sesuatu yang biasa
terjadi yang disertai dengan perombakan terhadap adat kehiasaan, dan hal itu
sesuai dengan tuntutan,
AI-Quran ialah mukjizat abadi Nabi Muhammad saw., yang dengannya seluruh
manusia dan jin ditantang untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran tersebut,
sebuah atau sepuluh surat yang sama dengan surat yang ada di dalamnya. Para ahli
balaghah dan para ahli bahasa Arab di antara mereka ternyata tidak mampu
membuat sebuah surat pun yang serupa dengan surat yang ada di dalam Al-Quran
sehingga akhirnya mereka menggunakan kekuatan dengan berupaya memerangi
Rasulullah, menawarkan jabatan dan harta kepada beliau, bukan membuat sehuah
surat yang serupa dengan AI-Quran. Allah SWT. di dalam Kitab-Nya menjelaskan
bahwa AI-Quran merupakan mukjizat:
Dan
orang-orang kafir Makkah mengatakan: “Mengapa kepadanya tidak diturunkan
mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat-mukjizat
tersebut terserah kepada Allah. Dan sesungguhnya (Muhammad) hanyalah seorang
pemberi peringatan yang nyata."Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwa kami
telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) dan ia dibacakan kepada mereka?
Sesungguhnya di dalam Al-Quran itu terdapat rahmat yang besar dan peringatan
bagi orang-orang yang beriman. (Al-Ankabut:
50-51)
Dengan penjelasan ini, Allah SWT. menegaskan bahwa Al-Quran merupakan
ayat yang terang dan mukjizat yang cukup bagi manusia.
Jumhur kaum Muslimin berpendapat bahwa Al-Quran sendiri merupakan
mukjizat (mu ’jiz bi dzatih). Maksudnya, bahwa AlQuran dengan seluruh
yang ada di dalamnya, termasuk struktur kalimat; balaghah, bayan
(penjelasan), perundang-undangan (tasyri'), berita-berita gaib dan
seluruh persoalan lain yang merupakan mukjizat, telah menyebabkan seluruh
manusia tidak mampu membuat yang serupa dengannya.
Abu Ishaq Ibrahim Al-Nidzam, seorang Mu'tazilah, dan Al-Syarif
Al-Murtadha, seorang Syi'ah Ja'fari berpendapat bahwa Al-Quran itu mu’jiz bi
al-sharfah. Yang dimaksud dengan sharfah adalah bahwa Allah SWT. memalingkan
hamba-hamba-Nya dengan menarik kehendak mereka, dan dengan mengelukan
lidah-lidah mereka untuk membuat yang serupa dengan Al-Quran.
Sebenarnya, Al-Quran merupakan mukjizat (mu’jiz bi dzatih),
adalah disebabkan ketinggian balaghah, struktur bahasa, bayan, dan
perundang-undangan (tasyri')-nya yang adil dan relevan bagi manusia,
potensi-potensinya, tujuan penciptaannya yang harmonis dengan hukum alam yang
umum, dan juga berita-berita gaibnya yang manusia tidak akan mampu memberitakan
hal demikian. Al-Baqilani mengatakan: "Seandainya Al-Quran bukan merupakan
mukjizat berdasarkan yang telah kami sifatkan dari segi struktur bahasanya yang
mumtani' (tidak mungkin tertandingi), maka kendatipun Al-Quran disusun
dengan struktur bahasa yang sangat tinggi dan dengan kefasihan yang sangat
tinggi pula, tentu kemukjizatannya akan lebih hebat lagi seandainya mereka
dipalingkan untuk membuat yang serupa dengannya, seandainya mereka dicegah untuk
menentangnya, serta seandainya anggapan-anggapan mereka dibelokkan dari padanya.
Tentu pula hal itu menunjukkan tidak perlunya AI-Quran diturunkan dengan
struktur bahasa yang indah, fasih dan menakjubkan. Sebab, seandainya mereka
dipalingkan dari anggapan-anggapannya, niscaya orang-orang jahiliah sebelum
mereka tidak perlu dipalingkan dari kefasihan, balaghah, keindahan
struktur bahasa dan keajaiban susunannya, karena mereka tidak ditantang oleh
Al-Quran untuk melakukan yang serupa, di samping hujjah-nya pun tidak
selayaknya diungkapkan mereka. Oleh karena itu, tidak pernah dijumpai
pembicaraan seperti itu sebelumnya. Hal itu merupakan bukti bahwa apa yang
diklaim oleh seseorang yang meyakini adanya sharfah, merupakan suatu kebatilan
yang nyata, yang akan membatalkan pendapat mereka mengenai adanya sharfah
tersebut. Seandainya penentangan itu mungkin, maka kalam bukan merupakan
mukjizat. Mukjizatnya justru pada pelarangan, sehingga kalam itu sendiri tidak
lebih istimewa dari yang lain. Maka tidak mengherankan apabila dikatakan:
‘Sesungguhnya semua orang akan mampu membuat yang serupa dengan Al-Quran, hanya
saja mereka terlambat karena mereka tidak mengetahui bentuk susunan (seperti
AI-Quran - penj.), seandainya mereka telah mengetahuinya, pasti mereka akan
mampu melakukannya'."
Al-Khithabi menolak pendapat bahwa Al-Quran merupakan mukjizat bi
al-sharfah. Beliau mengatakan: "Al-sharfah, merupakan hal yang tidak
begitu berbeda dengan i’jaz. Hanya saja, petunjuk ayat membuktikan sebaliknya,
yaitu firman Allah SWT.:
Katakanlah: "Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa dengan Al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa
dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.
" (Al-Isra: 88)
Dalam hal demikian, ia menunjuk kepada persoalan yang caranya bersifat
takalluf (dibuat-buat) dan diupayakan, dengan cara yang matang dan
dilakukan bersama-sama. Dan yang dimaksud dengan al-sharfah seperti yang
telah mereka sifatkan tidaklah sejalan dengan sifat ini sehingga hal ini
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah sifat yang lain. Wallahu
a'lam."
Muhammad bin Amru Al-Razi, dalam tafsimya Al-Kabir, menegaskan
bahwa kedua pendapat tersebut - pendapat yang mengatakan bahwa Al-Quran sendiri
merupakan mukjizat, dan pendapat yang mengatakan bahwa Al-Quran mu’jiz bi
alsharfah - satu sama lain menjadi pendahulu di dalam memberikan
bukti.
Beliau mengatakan: "Al-Quran, baik ia sendiri merupakan mukjizat atau
bukan, adalah mukjizat. Apabila ia merupakan mukjizat maka ia sudah sampai
kepada yang dimaksud. Apabila ia bukan merupakan mukjizat, bahkan banyak orang
yang mampu untuk menentangnya, dan untuk melakukan hal demikian tidak
dipalingkan dan dilarang, maka atas dasar ini tindakan menandinginya merupakan
sesuatu keharusan dan kelaziman. Dengan ketidakmampuan menandingi tersebut,
dengan disertai kemungkinan-kemungkinan, jelas merupakan pembatal terhadap
kebiasaan sehingga ia merupakan mukjizat."
Sedangkan penulis .Al-Mizan bi Tafsir Al-Quran berpendapat bahwa
Al-Quran sendiri merupakan mukjizat (mu’jiz bi dzatih). Beliau
mengatakan: "Firman Allah SWT.: 'Maka apakah mereka tidak memperhatikan
Al-Quran? Kalau sekiranya AlQuran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
akan mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya,' jelas merupakan
bukti bahwa AI-Quran tidak mungkin dapat ditandingi oleh manusia dengan
mendatangkan sesuatu yang serupa dengannya. Wujud Al-Quran itu sendiri yang pada
lafaz dan maknanya tidak terjadi pertentangan, itu saja, tidak mungkin dapat
ditandingi oleh makhluk untuk membuat kalam yang tidak dikenai
pertentangan di dalamnya. Bukan karena Allah memalingkan mereka sehingga mereka
tidak bisa menandinginya dengan menunjukkan pertentangan di dalamnya, dan
pendapat mereka yang mengatakan bahwa kemukjizatan AI-Quran itu
bi al-sharfah (pemalingan) merupakan pendapat yang tidak bisa dijadikan
sandaran."
Al-Rummani Ali bin Isa, seorang Mu'tazilah, di dalam bukunya
Al-Nukat fi /’jaz Al-Quran, juga berpendapat mengenai adanya
i’jaz balaghi, juga berpendapat bahwa kemukjizatannya bi al
sharfah. Pendapat ini diikuti oleh Al-Nadhdham AI-Mu'tazili, Hisyam
Al-Quthi, dan Ibad bin Sulaiman. AI-Qadhi Abdut Jabbar Al-Mu'tazili berpendapat
bahwa i jaz itu pada kefasihan Al-Quran. Adapun al-sharfah
(pemalingan) merupakan hujjah yang lazim bagi yang berpendapat
demikian.
Yang dimaksud dengan al-sharfah oleh Mu'tazilah ialah baitwa
Allah SWT. memalingkan kehendak mereka untuk menandingi
AI-Quran.
Meieka berpendapat: "Sekiranya Allah SWT. mengangkat Nabi pada masa
kenabian (nubuwwah), dan mukjizatnya terjadi ketika menggerakkan
tangannya, melangkahkan kakinya, atau sewaktu duduk di antara kaumnya, kemudian
dikatakan kepadanya: 'Apa bukti kebenaranmu?' Beliau menjawab: 'Bukti
kebenaranku ialah bisa menggerakkan tanganku atau menjulurkan kakiku, dan
kalian tidak mungkin dapat melakukan seperti yang telah kulakukan.' Andaikan
seluruh kaum badannya dalam keadaan sehat, sedikit pun anggota badan mereka
tidak cacat. Selanjutnya beliau menggerakkan tangannya atau menjulurkan kakinya,
kemudian mereka mulai mau melakukan seperti yang beliau lakukan, akan tetapi
mereka tidak bisa melakukannya. Semua itu merupakan bukti atas
kebenarannya."
Sebenarnya argumentasi mereka yang berpendapat bahwa Al-Quran merupakan
rnukjizat bi al-sharfah (pemalingan) seperti itu, pada dasarnya adalah
mukjizat dengan halangan yang bersifat eksternal, bukan dari AI-Quran itu
sendiri. Halangan eksternal ini bukanlah pendahulu bagi halangan sejati
(al-imtina' al-dzati). Bagi mereka yang berpendapat demikian, suatu
kalam yang paling tinggi dan yang sebaliknya - dalam balaghah -
adalah sama, selama halangan tersebut bersifat eksternal. Selanjutnya,
sekiranya yang memalingkan dari luar Al-Quran sendiri, maka orang Arab, seperti
Musailamah dan yang lainnya, yang berusaha menandingi Al-Quran, akan gagal dan
binasa.
Perlu dijelaskan bahwa antara mukjizat dan mumtani' ada
perbedaan. Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, mukjizat adalah
terjadinya sesuatu yang tidak biasa terjadi atau terjadinya sesuatu yang
menggugurkan sesuatu yang biasa terjadi yang disertai dengan perombakan terhadap
adat kebiasaan, dan hal itu sesuai dengan tuntutan. Adapun mumtani' ialah
sesuatu yang pada hakikatnya ia sendiri bersifat mustahil terjadi, yaitu bahwa
ketika akal menggambarkan suatu subtansi mumtani', pada dasarnya,
subtansi tersebut mustahil terwujud. Contoh, menggambarkan wujud lingkaran yang
diameternya lebih besar dari kelilingnya. Pada dasarnya, ketika akal
menggambarkan subtansi tersebut, ia menghukumi bahwa hal itu tidak akan
terwujud, seperti mustahilnya bahwa bagian itu lebih besar dari keseluruhan,
dan mustahilnya dua hal yang kontradiksi bisa bersatu. Contoh-contoh subtansi
di atas, pada dasarnya ia sendiri bersifat mumtani' (mustahil terwujud).
Actapun mukjizat, tidak bersifat mumtani', seperti membekunya air laut
sebagai benteng kepada Musa a.s., atau tidak membakarnya api kepada Ibrahim a.s.
yang menurut kebiasaan api itu membakar. Semua ini termasuk hukum-hukum alam
(alsunan al-kauniyyah) yang telah diciptakan Allah SWT., hanya saja
hukum-hukum alam tersebut tidak mungkin bisa diubah selain oleh Penciptanya,
yaitu Allah SWT, karena seluruh manusia tidak akan mampu
mengubahnya.
Sungguh
kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnatullah (hukum alam).
(AI-Ahzab: 62)
Apabila seorang Nabi diminta untuk mendatangkan suatu bukti, maka dengan
izin Allah SWT. dia akan mampu mengubah sunnatullah tersebut, karena pada
dasarnya sunnatullah itu bisa berubah, hanya saja bagi manusia ia
bersifat mumtani' (mustahil berubah). Dengan kata lain, mukjizat itu
bersifat mumtani' bagi manusia, akan tetapi dengan izin Allah SWT.
bersifat mungkin bagi Nabi. Sedangkan mumtani' sendiri pada hakikatnya
bersifat mumtani', dan kekuasaan Allah tidak berkaitan dengan
al-muntani'at (hal-hal yang bersifat mumtani'). Al-Quran sendiri
merupakan mukjizat. Artinya, bahwa setiap makhluk mustahil akan mampu membuat
vang serupa dengannya. Sedangkan hubungannya dengan Allah SWT tentu Ia akan
mampu membuat yang serupa dengannya, karena Ia sendiri Mahakuasa atas segala
sesuatu.
-------------HOME------------
Inikan artikel BAB 1 I'JAZ AL-QURAN bermanfaat bagi Anda.
Post a Comment